Jumat, 07 Juni 2013

Pesut Mahakam



Pada jaman dahulu kala di rantau Mahakam, terdapat sebuah dusun yang didiami oleh beberapa keluarga. Mata pencaharian mereka kebanyakan adalah sebagai petani maupun nelayan. Setiap tahun setelah musim panen, penduduk dusun tersebut biasanya mengadakan pesta adat yang diisi dengan beraneka macam pertunjukan ketangkasan dan kesenian.
Ditengah masyarakat yang tinggal di dusun tersebut, terdapat suatu keluarga yang hidup rukun dan damai dalam sebuah pondok yang sederhana. Mereka terdiri dari sepasang suami-istri dan dua orang putra dan putri. Kebutuhan hidup mereka tidak terlalu sukar untuk dipenuhi karena mereka memiliki kebun yang ditanami berbagai jenis buah-buahan dan sayur-sayuran. Begitu pula segala macam kesulitan dapat diatasi dengan cara yang bijaksana, sehingga mereka hidup  dengan bahagia selama bertahun-tahun.
Pada suatu ketika, sang ibu terserang oleh suatu penyakit. Walau telah diobati oleh beberapa orang tabib, namun sakit sang ibu tak kunjung sembuh pula hingga akhirnya ia meninggal dunia. Sepeninggal sang ibu, kehidupan keluarga ini mulai tak terurus lagi.  Mereka larut dalam kesedihan yang mendalam karena kehilangan orang yang sangat mereka cintai. Sang ayah menjadi pendiam dan pemurung, sementara kedua anaknya selalu diliputi rasa bingung, tak tahu apa yang mesti dilakukan. Keadaan rumah dan kebun mereka kini sudah tak terawat lagi. Beberapa sesepuh desa telah mencoba menasehati sang ayah agar tidak larut dalam kesedihan, namun nasehat-nasehat mereka tak dapat memberikan perubahan padanya. Keadaan ini berlangsung cukup lama.
Suatu hari di dusun tersebut kembali diadakan pesta adat panen. Berbagai pertunjukan dan hiburan kembali digelar. Dalam suatu pertunjukan ketangkasan, terdapatlah seorang gadis yang cantik dan mempesona sehingga selalu mendapat sambutan pemuda-pemuda dusun tersebut bila ia beraksi. Mendengar berita yang demikian itu, tergugah juga hati sang ayah untuk turut menyaksikan bagaimana kehebatan pertunjukan yang begitu dipuji-puji penduduk dusun hingga banyak pemuda yang tergila-gila dibuatnya.
Malam itu adalah malam ketujuh dari acara keramaian yang dilangsungkan. Perlahan-lahan sang ayah berjalan mendekati tempat pertunjukan dimana gadis itu akan bermain. Sengaja ia berdiri di depan agar dapat dengan jelas menyaksikan permainan serta wajah sang gadis. Akhirnya pertunjukan pun dimulai. Berbeda dengan penonton lainnya, sang ayah tidak banyak tertawa geli atau memuji-muji penampilan sang gadis. Walau demikian sekali-sekali ada juga sang ayah tersenyum kecil. Sang gadis melemparkan senyum manisnya kepada para penonton yang memujinya maupun yang menggodanya. Suatu saat, akhirnya bertemu jua pandangan antara si gadis dan sang ayah tadi. Kejadian ini berulang beberapa kali, dan tidak lah diperkirakan sama sekali kiranya bahwa terjalin rasa cinta antara sang gadis dengan sang ayah dari dua orang anak tersebut.
Demikianlah keadaannya, atas persetujuan kedua belah pihak dan restu dari para sesepuh maka dilangsungkanlah pernikahan antara mereka setelah pesta adat di dusun tersebut usai. Dan berakhir pula lah kemuraman keluarga tersebut, kini mulailah mereka menyusun hidup baru. Mereka mulai mengerjakan kegiatan-kegiatan yang dahulunya tidak mereka usahakan lagi. Sang ayah kembali rajin berladang dengan dibantu kedua anaknya, sementara sang ibu tiri tinggal di rumah menyiapkan makanan bagi mereka sekeluarga. Begitulah seterusnya sampai berbulan-bulan lamanya hingga kehidupan mereka cerah kembali.
Dalam keadaan yang demikian, tidak lah diduga sama sekali ternyata sang ibu baru tersebut lama kelamaan memiliki sifat yang kurang baik terhadap kedua anak tirinya. Kedua anak itu baru diberi makan setelah ada sisa makanan dari ayahnya. Sang ayah hanya dapat memaklumi perbuatan istrinya itu, tak dapat berbuat apa-apa karena dia sangat mencintainya. Akhirnya, seluruh rumah tangga diatur dan berada ditangan sang istri muda yang serakah tersebut. Kedua orang anak tirinya disuruh bekerja keras setiap hari tanpa mengenal lelah dan bahkan disuruh mengerjakan hal-hal yang diluar kemampuan mereka.
Pada suatu ketika, sang ibu tiri telah membuat suatu rencana jahat. Ia menyuruh kedua anak tirinya untuk mencari kayu bakar di hutan.
"Kalian berdua hari ini harus mencari kayu bakar lagi!" perintah sang ibu, "Jumlahnya harus tiga kali lebih banyak dari yang kalian peroleh kemarin. Dan ingat! Jangan pulang sebelum kayunya banyak dikumpulkan. Mengerti?!"
"Tapi, Bu..." jawab anak lelakinya, "Untuk apa kayu sebanyak itu...? Kayu yang ada saja masih cukup banyak. Nanti kalau sudah hampir habis, barulah kami mencarinya lagi..."
"Apa?! Kalian sudah berani membantah ya?! Nanti kulaporkan ke ayahmu bahwa kalian pemalas! Ayo, berangkat sekarang juga!!" kata si ibu tiri dengan marahnya.
Anak tirinya yang perempuan kemudian menarik tangan kakaknya untuk segera pergi. Ia tahu bahwa ayahnya telah dipengaruhi sang ibu tiri, jadi sia-sia saja untuk membantah karena tetap akan dipersalahkan jua. Setelah membawa beberapa perlengkapan, berangkatlah mereka menuju hutan. Hingga senja menjelang, kayu yang dikumpulkan belum mencukupi seperti yang diminta ibu tiri mereka. Terpaksa lah mereka harus bermalam di hutan dalam sebuah bekas pondok seseorang agar dapat meneruskan pekerjaan mereka esok harinya. Hampir tengah malam barulah mereka dapat terlelap walau rasa lapar masih membelit perut mereka.
Esok paginya, mereka pun mulai mengumpulkan kayu sebanyak-banyaknya. Menjelang tengah hari, rasa lapar pun tak tertahankan lagi, akhirnya mereka tergeletak di tanah selama beberapa saat. Dan tanpa mereka ketahui, seorang kakek tua datang menghampiri mereka.
"Apa yang kalian lakukan disini, anak-anak?!" tanya kakek itu kepada mereka.
Kedua anak yang malang tersebut lalu menceritakan semuanya, termasuk tingkah ibu tiri mereka dan keadaan mereka yang belum makan nasi sejak kemarin hingga rasanya tak sanggup lagi untuk meneruskan pekerjaan.
"Kalau begitu..., pergilah kalian ke arah sana." kata si kakek sambil menunjuk ke arah rimbunan belukar, "Disitu banyak terdapat pohon buah-buahan. Makanlah sepuas-puasnya sampai kenyang. Tapi ingat, janganlah dicari lagi esok harinya karena akan sia-sia saja. Pergilah sekarang juga!"
Sambil mengucapkan terima kasih, kedua kakak beradik tersebut bergegas menuju ke tempat yang dimaksud. Ternyata benar apa yang diucapkan kakek tadi, disana banyak terdapat beraneka macam pohon buah-buahan. Buah durian, nangka, cempedak, wanyi, mangga dan pepaya yang telah masak tampak berserakan di tanah. Buah-buahan lain seperti pisang, rambutan dan kelapa gading nampak bergantungan di pohonnya. Mereka kemudian memakan buah-buahan tersebut hingga kenyang dan badan terasa segar kembali. Setelah beristirahat beberapa saat, mereka dapat kembali melanjutkan pekerjaan mengumpulkan kayu hingga sesuai dengan yang diminta sang ibu tiri.
Menjelang sore, sedikit demi sedikit kayu yang jumlahnya banyak itu berhasil diangsur semuanya ke rumah. Mereka kemudian menyusun kayu-kayu tersebut tanpa memperhatikan keadaan rumah. Setelah tuntas, barulah mereka naik ke rumah untuk melapor kepada sang ibu tiri, namun alangkah terkejutnya mereka ketika melihat isi rumah yang telah kosong melompong.
Ternyata ayah dan ibu tiri mereka telah pergi meninggalkan rumah itu. Seluruh harta benda didalam rumah tersebut telah habis dibawa serta, ini berarti mereka pergi dan tak akan kembali lagi ke rumah itu. Kedua kakak beradik yang malang itu kemudian menangis sejadi-jadinya. Mendengar tangisan keduanya, berdatanganlah tetangga sekitarnya untuk mengetahui apa gerangan yang terjadi. Mereka terkejut setelah mengetahui bahwa kedua ayah dan ibu tiri anak-anak tersebut telah pindah secara diam-diam.
Esok harinya, kedua anak tersebut bersikeras untuk mencari orangtuanya. Mereka memberitahukan rencana tersebut kepada tetangga terdekat. Beberapa tetangga yang iba kemudian menukar kayu bakar dengan bekal bahan makanan bagi perjalanan kedua anak itu. Menjelang tengah hari, berangkatlah keduanya mencari ayah dan ibu tiri mereka.
Telah dua hari mereka berjalan namun orangtua mereka belum juga dijumpai, sementara perbekalan makanan sudah habis. Pada hari yang ketiga, sampailah mereka di suatu daerah yang berbukit dan tampaklah oleh mereka asap api mengepul di kejauhan. Mereka segera menuju ke arah tempat itu sekedar bertanya kepada penghuninya barangkali mengetahui atau melihat kedua orangtua mereka.
Mereka akhirnya menjumpai sebuah pondok yang sudah reot. Tampak seorang kakek tua sedang duduk-duduk didepan pondok tersebut. Kedua kakak beradik itu lalu memberi hormat kepada sang kakek tua dan memberi salam.
"Dari mana kalian ini? Apa maksud kalian hingga datang ke tempat saya yang jauh terpencil ini?" tanya sang kakek sambil sesekali terbatuk-batuk kecil.
"Maaf, Tok." kata si anak lelaki, "Kami ini sedang mencari kedua urangtuha kami. Apakah Datok pernah melihat seorang laki-laki dan seorang perempuan yang masih muda lewat disini?"
Sang kakek terdiam sebentar sambil mengernyitkan keningnya, tampaknya ia sedang berusaha keras untuk mengingat-ingat sesuatu.
"Hmmm..., beberapa hari yang lalu memang ada sepasang suami-istri yang datang kesini." kata si kakek kemudian, "Mereka banyak sekali membawa barang. Apakah mereka itu yang kalian cari?"
"Tak salah lagi, Tok." kata anak lelaki itu dengan gembira, "Mereka pasti urangtuha kami! Ke arah mana mereka pergi, Tok?"
"Waktu itu mereka meminjam perahuku untuk menyeberangi sungai. Mereka bilang, mereka ingin menetap diseberang sana dan hendak membuat sebuah pondok dan perkebunan baru. Cobalah kalian cari di seberang sana."
"Terima kasih, Tok..." kata si anak sulung tersebut, "Tapi..., bisakah Datok mengantarkan kami ke seberang sungai?"
"Datok ni dah tuha... mana kuat lagi untuk mendayung perahu!" kata si kakek sambil terkekeh, "Kalau kalian ingin menyusul mereka, pakai sajalah perahuku yang ada ditepi sungai itu."
Kakak beradik itu pun memberanikan diri untuk membawa perahu si kakek. Mereka berjanji akan mengembalikan perahu tersebut jika telah berhasil menemukan kedua orangtua mereka. Setelah mengucapkan terima kasih, mereka lalu menaiki perahu dan mendayungnya menuju ke seberang. Keduanya lupa akan rasa lapar yang membelit perut mereka karena rasa gembira setelah mengetahui keberadaan orangtua mereka. Akhirnya mereka sampai di seberang dan menambatkan perahu tersebut dalam sebuah anak sungai. Setelah dua hari lamanya berjalan dengan perut kosong, barulah mereka menemui ujung sebuah dusun yang jarang sekali penduduknya.
Tampaklah oleh mereka sebuah pondok yang kelihatannya baru dibangun. Perlahan-lahan mereka mendekati pondok itu. Dengan perasaan cemas dan ragu si kakak menaiki tangga dan memanggil-manggil penghuninya, sementara si adik berjalan mengitari pondok hingga ia menemukan jemuran pakaian yang ada di belakang pondok. Ia pun teringat pada baju ayahnya yang pernah dijahitnya karena sobek terkait duri, setelah didekatinya maka yakinlah ia bahwa itu memang baju ayahnya. Segera ia berlari menghampiri kakaknya sambil menunjukkan baju sang ayah yang ditemukannya di belakang. Tanpa pikir panjang lagi mereka pun memasuki pondok dan ternyata pondok tersebut memang berisi barang-barang milik ayah mereka.
Rupanya orangtua mereka terburu-buru pergi, sehingga di dapur masih ada periuk yang diletakkan diatas api yang masih menyala. Didalam periuk tersebut ada nasi yang telah menjadi bubur. Karena lapar, si kakak akhirnya melahap nasi bubur yang masih panas tersebut sepuas-puasnya. Adiknya yang baru menyusul ke dapur menjadi terkejut melihat apa yang sedang dikerjakan kakaknya, segera ia menyambar periuk yang isinya tinggal sedikit itu. Karena takut tidak kebagian, ia langsung melahap nasi bubur tersebut sekaligus dengan periuknya.
Karena bubur yang dimakan tersebut masih panas maka suhu badan mereka pun menjadi naik tak terhingga. Dalam keadaan tak karuan demikian, keduanya berlari kesana kemari hendak mencari sungai. Setiap pohon pisang yang mereka temui di kiri-kanan jalan menuju sungai, secara bergantian mereka peluk sehingga pohon pisang tersebut menjadi layu. Begitu mereka tiba di tepi sungai, segeralah mereka terjun ke dalamnya. Hampir bersamaan dengan itu, penghuni pondok yang memang benar adalah orangtua kedua anak yang malang itu terheran-heran ketika melihat banyak pohon pisang di sekitar pondok mereka menjadi layu dan hangus.
Namun mereka sangat terkejut ketika masuk kedalam pondok dan mejumpai sebuah bungkusan dan dua buah mandau kepunyaan kedua anaknya. Sang istri terus memeriksa isi pondok hingga ke dapur, dan dia tak menemukan lagi periuk yang tadi ditinggalkannya. Ia kemudian melaporkan hal itu kepada suaminya. Mereka kemudian bergegas turun dari pondok dan mengikuti jalan menuju sungai yang di kiri-kanannya banyak terdapat pohon pisang yang telah layu dan hangus.
Sesampainya di tepi sungai, terlihatlah oleh mereka dua makhluk yang bergerak kesana kemari didalam air sambil menyemburkan air dari kepalanya. Pikiran sang suami teringat pada rentetan kejadian yang mungkin sekali ada hubungannya dengan keluarga. Ia terperanjat karena tiba-tiba istrinya sudah tidak ada disampingnya. Rupanya ia menghilang secara gaib. Kini sadarlah sang suami bahwa istrinya bukanlah keturunan manusia biasa. Semenjak perkawinan mereka, sang istri memang tidak pernah mau menceritakan asal usulnya.
Tak lama berselang, penduduk desa datang berbondong-bondong ke tepi sungai untuk menyaksikan keanehan yang baru saja terjadi. Dua ekor ikan yang kepalanya mirip dengan kepala manusia sedang bergerak kesana kemari ditengah sungai sambil sekali-sekali muncul di permukaan dan menyemburkan air dari kepalanya. Masyarakat yang berada di tempat itu memperkirakan bahwa air semburan kedua makhluk tersebut panas sehingga dapat menyebabkan ikan-ikan kecil mati jika terkena semburannya.
Oleh masyarakat Kutai, ikan yang menyembur-nyemburkan air itu dinamakan ikan Pasut atau Pesut. Sementara masyarakat di pedalaman Mahakam menamakannya ikan Bawoi.***

monster legenda afrika

Pada sore bulan Januari 1897, Erasmus Shue alias Edward, seorang pandai besi, menyuruh anak laki-laki tetangganya menemui Elva, istri yang telah ia nikahi selama tiga bulan.

Siapa tahu sang istri butuh sesuatu dari pasar. Tapi ketika anak laki-laki itu berjalan melalui pintu depan rumah pondok itu, ia menemukan tubuh Elva yang tak bernyawa di kaki tangga.



Anak itu terdiam sesaat, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Tubuh wanita itu terentang lurus dengan kaki menyatu. Satu lengannya ada di sisi tubuh dan lengan satunya berada di dada. Kepalanya menghadap ke satu sisi.

Awalnya anak itu mengira Elva sedang tertidur di lantai. Ia melangkah mendekatinya, memanggil pelan, "Mrs. Shue?" Ketika wanita itu tidak merespon, anak itu panik dan berlari keluar rumah. Dia memberitahu ibunya apa yang ia temukan dan sang ibu memanggil dokter dan koroner, George W. Knapp.

Knapp tidak kunjung datang ke ruma Shue hingga hampir sejam. Ketika ia tiba, Shue sudah pulang, membawa jasad istrinya ke kamar tidur, membersihkan dan memakaikan pakaian, dan membaringkannya di tempat tidur.


Elva Zona Heaster Shue

Dia mempersiapkan jasad istrinya untuk pemakaman dibalut gaun berleher tinggi dengan kerah kaku dan menempatkan selendang untuk menutupi wajahnya.

Knapp hendak memeriksa jasad itu, Shue membuai kepala istrinya dan menangis. Ketika Knapp mencoba memeriksa leher dan kepala Elva, Shue memberontak. Knapp tidak ingin mengganggunya lebih lagi, sehingga ia pun meninggalkannya.

Ia tidak menemukan ada yang salah pada bagian-bagian tubuh yang ia periksa dan juga telah merawat Elva selama beberapa minggu sebelumnya, sehingga ia memutuskan mengubah penyebab kematiannya dari "pingsan berkepanjangan" menjadi "komplikasi masa kehamilan."

Jasad Elva dibawa ke rumah masa kecilnya di Little Sewell Mountain dan dimakamkan. Shue bertingkah aneh selama pemakaman. Ia berjalan di dekat peti mati, melakukan sesuatu pada kepala dan leher Elva.

Ia menutupi kepala istrinya dengan selendang tambahan yang sebenarnya tidak cocok dengan gaun pemakamanannya, tapi Shue berkeras bahwa itu adalah selendang favorit istrinya. Ia juga menyangga kepala mayat istrinya dengan bantal dan kain yang digulung.

Tingkahnya itu sangat aneh, tapi para tamu menganggap itu sebagai bagian dari proses pemakaman. Shue secara umum disukai orang sehingga tak ada yang mencurigainya.


Intuisi sang ibu

Kecuali Mary Jane Heaster, ibu Elva. Dia tidak pernah menyukai Shue, bahkan tanpa bukti apapun, dia yakin bahwa pria itulah yang membunuh putrinya.

Ia berharap Elva bisa memberitahunya apa yang terjadi. Ia kemudian berdoa agar entah bagaimana caranya Elva kembali dari kematian dan mengungkapkan kebenaran tentang kematiannya. Dia berdoa setiap malam selama berminggu-minggu, hingga akhirnya doanya terjawab.


Heaster mengatakan putrinya muncul dalam mimpinya selama empat malam berturut-turut dan bercerita. Awalnya, rohnya muncul sebagai cahaya yang terang, kemudian mengambil bentuk manusia dan membuat ruangan terasa dingin.

Hantu Elva mengaku pada ibunya bahwa Shue telah menyiksanya dengan kejam, dan suatu malam suaminya menyerangnya dalam kemarahan karena dia pikir Elva tidak memasak daging untuk makan malam.

Shue mematahkan lehernya, kata hantu itu sambil memutar kepalanya ke belakang. Kemudian hantu Elva berbalik dan berjalan pergi, menghilang kedalam gelap sambil memandang ibunya.

Heaster pergi ke jaksa penuntut lokal, John Preston untuk meminta kasus itu dibuka lagi. Tidak diketahui apakah Preston memercayai kisah hantu itu atau tidak, tapi Heaster berhasil membujuknya untuk mulai menanyai orang di seluruh kota.

Tetangga-tetangga Shue dan teman-temannya mengatakan tentang kebiasaan aneh lelaki itu saat di pemakaman, dan Dr. Knapp mengakui bahwa pemeriksaannya pada jasad Elva tidak lengkap.


Akhirnya Preston melakukan otopsi secara lengkap, dan beberapa hari kemudian, jasad Elva digali meskipun Shue menyampaikan keberatannya. Knapp dan dua dokter lainnya membaringkan jasad itu di sebuah gedung sekolah untuk dilakukan pengujian.

Koran lokal, The Pocahontas Times, kemudian melaporkan bahwa, "Pada tenggorokan terdapat bekas jari yang mengindikasikan bahwa dia dicekik ... bahwa lehernya bergeser antara tulang belakang pertama dan kedua. Tulang belikat robek dan putus. Batang tenggorokan remuk pada titik di depan leher."

Jelas bahwa kematian Elva tidak alami, tapi tidak ada bukti yang merujuk pada pembunuhnya, dan tidak ada saksi. Tingkah laku aneh Shue sejak kematian Elva melekat di pikiran Preston sehingga ia mulai mencurigai pria itu.

Di saat yang sama, ibu Elva menjelaskan dengan tepat bagaimana putrinya dibunuh sebelum otopsi dilakukan. Mungkin justru dialah pelakunya, dan cerita hantu itu hanya akal-akalan untuk menjebak Shue.


Bukan korban yang pertama

Preston melanjutkan investigasi dan mulai menyelidiki masa lalu Shue. Dia pun mengetahui bahwa Shue pernah menikah dua kali sebelumnya. Yang pertama berakhir dengan perceraian saat Shue dipenjara karena mencuri kuda. Istri pertamanya itu kemudian mengatakan pada polisi bahwa Shue sangatlah kasar dan suka memukulinya.

Pernikahan keduanya berakhir hanya delapan bulan dengan kematian misterius sang istri. Sebelumnya, di penjara, Shue membual bahwa ia akan menikah tuju kali selama hidupnya. Kematian istri keduanya dan sejarah kekerasan Shue memiliki hubungan yang tipis tapi cukup bagi Preston untuk menggiringnya ke pengadilan.

Mary Jane Heaster menjadi saksi jaksa, dan Preston berusaha untuk menghindari bagian tentang hantu putrinya itu, karena akan dianggap sebagai desas-desus belaka.

Untuk membuktikan bahwa dia tidak dapat dipercaya, pengacara Shue menanyakan Heaster secara ekstensif tentang kunjungan hantu putrinya. Taktik itu berhasil, Heaster menolak meragukan laporannya.

Banyak anggota masyarakat yang tampak percaya pada cerita Heaster, dan Shue tidak melakukan apapun untuk membela diri, hanya mengoceh dan meminta para juri "untuk melihat ke wajahnya dan katakan dia bersalah."

Greenbrier Independent melaporkan bahwa pernyataan dan sikapnya tidak membantu membuat para pengunjung sidang bersimpati padanya. Juri berunding hanya selama sejam sepuluh menit sebelum menjatuhkan putusan bersalah.

Shue dihukum penjara seumur hidup, tapi tewas segera setelah terjadi wabah campak dan peneumonia yang menyerang penjara itu dalam musim semi 1900. Ny. Heaster hidup hingga tahun 1916, dan tidak pernah menyangkal cerita tentang hantu Elva.


Penanda sejarah di Greenbrier County dibuat untuk memperingati kematian Elva dan kasus pengadilan yang tidak biasa itu. Menjadi satu-satunya kasus dimana hantu membantu memenjarakan seorang pembunuh.

hantu perempuan yang menungkap pembunuhan dirinya

Pada sore bulan Januari 1897, Erasmus Shue alias Edward, seorang pandai besi, menyuruh anak laki-laki tetangganya menemui Elva, istri yang telah ia nikahi selama tiga bulan.

Siapa tahu sang istri butuh sesuatu dari pasar. Tapi ketika anak laki-laki itu berjalan melalui pintu depan rumah pondok itu, ia menemukan tubuh Elva yang tak bernyawa di kaki tangga.



Anak itu terdiam sesaat, tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Tubuh wanita itu terentang lurus dengan kaki menyatu. Satu lengannya ada di sisi tubuh dan lengan satunya berada di dada. Kepalanya menghadap ke satu sisi.

Awalnya anak itu mengira Elva sedang tertidur di lantai. Ia melangkah mendekatinya, memanggil pelan, "Mrs. Shue?" Ketika wanita itu tidak merespon, anak itu panik dan berlari keluar rumah. Dia memberitahu ibunya apa yang ia temukan dan sang ibu memanggil dokter dan koroner, George W. Knapp.

Knapp tidak kunjung datang ke ruma Shue hingga hampir sejam. Ketika ia tiba, Shue sudah pulang, membawa jasad istrinya ke kamar tidur, membersihkan dan memakaikan pakaian, dan membaringkannya di tempat tidur.


Elva Zona Heaster Shue

Dia mempersiapkan jasad istrinya untuk pemakaman dibalut gaun berleher tinggi dengan kerah kaku dan menempatkan selendang untuk menutupi wajahnya.

Knapp hendak memeriksa jasad itu, Shue membuai kepala istrinya dan menangis. Ketika Knapp mencoba memeriksa leher dan kepala Elva, Shue memberontak. Knapp tidak ingin mengganggunya lebih lagi, sehingga ia pun meninggalkannya.

Ia tidak menemukan ada yang salah pada bagian-bagian tubuh yang ia periksa dan juga telah merawat Elva selama beberapa minggu sebelumnya, sehingga ia memutuskan mengubah penyebab kematiannya dari "pingsan berkepanjangan" menjadi "komplikasi masa kehamilan."

Jasad Elva dibawa ke rumah masa kecilnya di Little Sewell Mountain dan dimakamkan. Shue bertingkah aneh selama pemakaman. Ia berjalan di dekat peti mati, melakukan sesuatu pada kepala dan leher Elva.

Ia menutupi kepala istrinya dengan selendang tambahan yang sebenarnya tidak cocok dengan gaun pemakamanannya, tapi Shue berkeras bahwa itu adalah selendang favorit istrinya. Ia juga menyangga kepala mayat istrinya dengan bantal dan kain yang digulung.

Tingkahnya itu sangat aneh, tapi para tamu menganggap itu sebagai bagian dari proses pemakaman. Shue secara umum disukai orang sehingga tak ada yang mencurigainya.


Intuisi sang ibu

Kecuali Mary Jane Heaster, ibu Elva. Dia tidak pernah menyukai Shue, bahkan tanpa bukti apapun, dia yakin bahwa pria itulah yang membunuh putrinya.

Ia berharap Elva bisa memberitahunya apa yang terjadi. Ia kemudian berdoa agar entah bagaimana caranya Elva kembali dari kematian dan mengungkapkan kebenaran tentang kematiannya. Dia berdoa setiap malam selama berminggu-minggu, hingga akhirnya doanya terjawab.


Heaster mengatakan putrinya muncul dalam mimpinya selama empat malam berturut-turut dan bercerita. Awalnya, rohnya muncul sebagai cahaya yang terang, kemudian mengambil bentuk manusia dan membuat ruangan terasa dingin.

Hantu Elva mengaku pada ibunya bahwa Shue telah menyiksanya dengan kejam, dan suatu malam suaminya menyerangnya dalam kemarahan karena dia pikir Elva tidak memasak daging untuk makan malam.

Shue mematahkan lehernya, kata hantu itu sambil memutar kepalanya ke belakang. Kemudian hantu Elva berbalik dan berjalan pergi, menghilang kedalam gelap sambil memandang ibunya.

Heaster pergi ke jaksa penuntut lokal, John Preston untuk meminta kasus itu dibuka lagi. Tidak diketahui apakah Preston memercayai kisah hantu itu atau tidak, tapi Heaster berhasil membujuknya untuk mulai menanyai orang di seluruh kota.

Tetangga-tetangga Shue dan teman-temannya mengatakan tentang kebiasaan aneh lelaki itu saat di pemakaman, dan Dr. Knapp mengakui bahwa pemeriksaannya pada jasad Elva tidak lengkap.


Akhirnya Preston melakukan otopsi secara lengkap, dan beberapa hari kemudian, jasad Elva digali meskipun Shue menyampaikan keberatannya. Knapp dan dua dokter lainnya membaringkan jasad itu di sebuah gedung sekolah untuk dilakukan pengujian.

Koran lokal, The Pocahontas Times, kemudian melaporkan bahwa, "Pada tenggorokan terdapat bekas jari yang mengindikasikan bahwa dia dicekik ... bahwa lehernya bergeser antara tulang belakang pertama dan kedua. Tulang belikat robek dan putus. Batang tenggorokan remuk pada titik di depan leher."

Jelas bahwa kematian Elva tidak alami, tapi tidak ada bukti yang merujuk pada pembunuhnya, dan tidak ada saksi. Tingkah laku aneh Shue sejak kematian Elva melekat di pikiran Preston sehingga ia mulai mencurigai pria itu.

Di saat yang sama, ibu Elva menjelaskan dengan tepat bagaimana putrinya dibunuh sebelum otopsi dilakukan. Mungkin justru dialah pelakunya, dan cerita hantu itu hanya akal-akalan untuk menjebak Shue.


Bukan korban yang pertama

Preston melanjutkan investigasi dan mulai menyelidiki masa lalu Shue. Dia pun mengetahui bahwa Shue pernah menikah dua kali sebelumnya. Yang pertama berakhir dengan perceraian saat Shue dipenjara karena mencuri kuda. Istri pertamanya itu kemudian mengatakan pada polisi bahwa Shue sangatlah kasar dan suka memukulinya.

Pernikahan keduanya berakhir hanya delapan bulan dengan kematian misterius sang istri. Sebelumnya, di penjara, Shue membual bahwa ia akan menikah tuju kali selama hidupnya. Kematian istri keduanya dan sejarah kekerasan Shue memiliki hubungan yang tipis tapi cukup bagi Preston untuk menggiringnya ke pengadilan.

Mary Jane Heaster menjadi saksi jaksa, dan Preston berusaha untuk menghindari bagian tentang hantu putrinya itu, karena akan dianggap sebagai desas-desus belaka.

Untuk membuktikan bahwa dia tidak dapat dipercaya, pengacara Shue menanyakan Heaster secara ekstensif tentang kunjungan hantu putrinya. Taktik itu berhasil, Heaster menolak meragukan laporannya.

Banyak anggota masyarakat yang tampak percaya pada cerita Heaster, dan Shue tidak melakukan apapun untuk membela diri, hanya mengoceh dan meminta para juri "untuk melihat ke wajahnya dan katakan dia bersalah."

Greenbrier Independent melaporkan bahwa pernyataan dan sikapnya tidak membantu membuat para pengunjung sidang bersimpati padanya. Juri berunding hanya selama sejam sepuluh menit sebelum menjatuhkan putusan bersalah.

Shue dihukum penjara seumur hidup, tapi tewas segera setelah terjadi wabah campak dan peneumonia yang menyerang penjara itu dalam musim semi 1900. Ny. Heaster hidup hingga tahun 1916, dan tidak pernah menyangkal cerita tentang hantu Elva.


Penanda sejarah di Greenbrier County dibuat untuk memperingati kematian Elva dan kasus pengadilan yang tidak biasa itu. Menjadi satu-satunya kasus dimana hantu membantu memenjarakan seorang pembunuh.

Timun Emas

Long time ago in the island of Java, Indonesia, lived a couple of farmer.  They had married for some years but they had no children.  So they prayed to a monster called Buta Ijo to give them children.  Buta Ijo was a ferocious and powerful monster.  He granted their wish on one condition.  When their children had grown up, they had to sacrifice them to Buta Ijo.  He liked eating fresh meat of human being.  The farmers agreed to his condition.  Several months later the wife was pregnant.

She gave birth to a beautiful baby girl.  They named her Timun Emas.  The farmers were happy.  Timun Emas was very healthy and a very smart girl.  She was also very diligent. When she was a teenager Buta Ijo came to their house.  Timun Emas was frightened so she ran away to hide.  The farmers then told Buta Ijo that Timun Emas was still a child.  They asked him to postpone.  Buta Ijo agreed.  He promised to come again.  The following year Buta Ijo came again.  But again and again their parents said that Timun Emas was still a child. 

When the third time Buta Ijo came their parents had prepared something for him.  They gave Timun Emas several bamboo needles, seeds of cucumber, dressing and salt. 

‘Timun, take these things’

‘What are these things?’

‘These are your weapons.  Buta Ijo will chase you.  He will eat you alive.  So run as fast as you can.  And if he will catch you spread this to the ground.  Now go!’

Timun Emas was scared so she ran as quickly as she could.  When Buta Ijo arrived she was far from home.  He was very angry when he realized that his prey had left.  So he ran to chase her.  He had a sharp nose so he knew what direction his prey ran. 

Timun Emas was just a girl while Buta Ijo was a monster so he could easily catch her up.  When he was just several steps behind Timun Emas quickly spread the seeds of cucumber.  In seconds they turned into many vines of cucumber.  The exhausted Buta Ijo was very thirsty so he grabbed and ate them.  When Buta Ijo was busy eating cucumber Timun Emas could run away.

But soon Buta Ijo realized and started running again.  When he was just several steps behind Timun Emas threw her bamboo needles.   Soon they turned into dense bamboo trees. Buta Ijo found it hard to pass.  It took him some time to break the dense bamboo forest.  Meanwhile Timun Emas could run farther.

Buta Ijo chased her again.  When he almost catch her again and again Timun Emas threw her dressing.  This time it turned into a lake.  Buta Ijo was busy to save himself so Timun Emas ran way.  But Buta Ijo could overcome it and continued chasing her.

Finally when Timun Emas was almost caught she threw her salt.  Soon the land where Buta Ijo stood turned into ocean.  Buta Ijo was drowned and died instantly. 

Timun Emas was thankful to god and came back to her home.

Damar Wulan

Damar Wulan was born in the village of Paluh Amba, not far from the capital city of Majapahit. He was the son of Udara, the former prime minister of Majapahit. Since his father had retired his family live in a quiet and prosperous village outside the capital. Damar was a smart boy so he could easily learned the lessons his father taught him. He learned martial art, religion, politics, and literature. He was very good at all those subjects. When his father thought that he is mature enough, he asked Damar to find job in Majapahit. He told Damar to apply for a job at the Prime Minister's office. He hoped that his close relation with the new prime minister would help him get the prime minister's attention. Furthermore Damar was a smart boy so his father was sure Damar was capable to do any job.

Damar was very confident he would get a good position at the prime minister's office. Early morning he left his village. At midday he got to Majapahit and he directly went to the prime minister's house. Prime Minister Logender was his name. The guards sarcastically questioned him when he told them he would see the prime minister.
 
'Who do you think you are?'
 
'I am Damar Wulan. I am the son of the former prime minister Udara. My father told me to see the prime minister here'
 
'If you think you can impress us by telling us about your father, you are completely wrong poor boy. The son of a prime minister would never go anywhere on foot'
 
'But, that's true. My father told me to find job here'
 
'Listen poor boy, the prime minister is a very busy person. He does not have time for job seeker like you. But if you need a job, there is a vacant position here. Let me report my chief'
 
Then the soldier reported to his superior. After that someone called Damar to get into the commander's chamber. He told Damar that the prime minister's office needed several boys to take care of the horses. Damar was surprised because he expected clerical job but then he accepted the offer. Since that day he lived in a simple hut behind the prime minister's house.
 
Damar did a good job so his superior was satisfied with him. He was also very sociable. Soon he had a good relationship with the prime minister and his family. The prime minister had two sons - Layang Seto and Layang Kumitir and a daughter - Anjasmoro. His sons were very arrogant and lazy. They treated Damar cruelly. They wanted Damar to do whatever they want. Every body hated them but nobody dare to express their feeling. Anjasmoro, on the other hand, liked Damar very much. Gradually she fell in love to Damar. So did Damar. They had a secret love. When Layang Seto and Layang Kumitir knew what happened to Damar and Anjasmoro, they were very angry. They treated Damar more and more cruelly.
 
At the time the kingdom of Majapahit faced a very serious problem because of the rebellion of Menak Jinggo. He was a half brother of the Queen Kecono Wungu. He was a prince of Majapahit and a highly respected general of the Majapahit army. For his great achievement for his country his father appointed him as the ruler for the kingdom of Blambangan, a vassal state under Majapahit. When his father passed away he was sure that he would become the successor. But he was very disappointed when his father appointed his sister instead. He thought that he was more capable than Kencono Wungu so he rebelled.
 
Menak Jinggo proved to be a good general. Under his leadership the Blambangan army could win several battles with Majapahit army. The territory of Majapahit one by one fell to Blambangan. At the time the morale of the Majapahit army was already down. They were not sure that they could win the war. So the queen and the prime minister met everyday to discuss the worsening situation. Some weeks went by but still they did not have any ideas to solve the problem. Every report they received about the war was only about the defeat of the Majapahit army.
 
Prime Minister Logender was shocked when his wife reported to him about the affair of Anjasmoro and Damar Wulan. For a highly respected person like him, it was a very serious blow to his ego. He was a very respectable person while his daughter dated with a poor boy. It was a serious humiliation. He could not accept it. This fact made him very angry. He thought very hard to find a solution. Suddenly an idea struck his sharp mind when he was meditating at midnight.
 
Early in the morning he went to the palace and asked the queen for an audience. Then he explained his plan.
 
'Your Majesty, last night I had an idea'
 
'Tell me about it'
 
'Our army could not win because we apply a wrong strategy. The Blambangan army is very good at a frontal open warfare like that. Furthermore our army's morale is now down. So we have to avoid open warfare. Since now on we have to launch a new tactics of secret operation. We must send a small army unit to kill Menak Jinggo secretly'
 
'Who will do that?'
 
'I have a body guard. His skill in martial art is excellent. He is very capable at individual fight. So he is ready for this duty. I am sure he is the right person'
 
'OK, I think you are right. Send him as soon as possible to Blambangan. If he can do his job well I will give him great reward'
 
When Logender got home he called Damar Wulan immediately. He asked him about his martial art skill. Damar said he had mastered some fighting skill. His father had trained him Pencak Silat, the Indonesian martial art. As a result, he was very skillful at using sword, lance, as well as empty hand fighting technique. Then Logender asked him to fight both Layang Seto and Layang Kumitir. Both of them fought emotionally since they hated Damar very much. But Damar was smart, skillful, strong and tough. In just several minutes he could beat both of them without difficulty. Logender was angry but also satisfied since he found a way to get rid of both problems - his home and his country.
 
'Damar, you are a great fighter. I am very proud of you. And that's why you will receive a great honor to fight for your country. Now there is a rebellion in Majapahit. The king of Blambangan has done a crime. His name is Menak Jinggo. Find him in his palace and Blambangan and kill him. Are you ready?'
 
'I am ready any time Sir'
 
'Good. Today you have to prepare everything and tomorrow you must leave for Blambangan secretly. Do not tell any one about this duty. Not even Anjasmoro. Don't be afraid because the Majapahit army will fully support you. They will back you and provide all your needs. When you can kill Menak Jinggo behead him and bring his head here. If you can do this job well you will be promoted to a high position as the commander of Majapahit army'
 
'Yes, Sir. I am very glad to receive this order. I will do my best'
 
The next day, very early in the morning Damar Wulan left Majapahit alone. Meanwhile Prime Minister Logender had implemented his own plan. He prepared a small army unit under the leadership of his two sons. They went behind Damar in a distant so that Damar did not notice them. They went secretly so no one knew it. Their task was not to protect Damar but to kill him and seize the head of Menak Jinggo if he could kill Menak Jinggo. But if Damar was killed then they had nothing to do.
 
Several days later Damar Wulan arrived in Blambangan. The Majapahit army kept on spying on him. They were surprised to see Damar did not directly attack the palace. He applied for a job instead. Once again he was accepted to work in the palace to take care of the horses. Everybody including the king Menak Jinggo liked him because he was very polite and he did his job well. He was also very handsome that two of the king's wife fell in love with him. Waito and Puyengan were the wives of King Menak Jinggo.
 
As everybody trusted him, it was easy for Damar to search the palace. He knew where Menak Jinggo lived. One night he secretly jumped the palace wall to kill the king. Finally he was inside the king's bedroom. But unfortunately the king was ready to welcome him. A small army unit was there to arrest him. He was no match for Menak Jinggo. But Menak Jinggo was a smart person. He did not kill Damar instantly. He wanted to gather information from him. So he ordered his guards.
 
'Don't kill him. Let him alive, treat him well. I will question him tomorrow'.
'Yes, Your Majesty'
 
He ordered his men to treat him well. He even let Waito and Puyengan to see Damar. By doing so he hoped that Damar would give him valuable information. But Damar was also a smart person. He dated Waito and Puyengan and he asked them the way to kill Menak Jinggo. Since the two women loved Damar they revealed a secret.
 
'Nobody can hurt him. He is a tough guy and he is protected by god. God gave him a secret weapon called Wesi Kuning'
'What is that?'
 
'That's a golden amulet. It is just a small amulet, as small as a thumb but it is very powerful. Its shape is like a stick. It is stored in his bedroom'
'He is a dangerous man. We have to stop him. Could you help me find his amulet?
 
'I will help you if you marry me'
 
'Sure I will marry both of you as soon as I can arrest him'
When their turn to amuse the king arrived Waito and Puyengan could get into the kings chamber. They used that opportunity to steal the amulet. Then they gave it to Damar Wulan. Menak Jinggo did not realize their conspiracy. When the night was very quiet they opened the door for Damar Wulan. There was a fight but it was too late for Menak Jinggo. The sudden attack did not give him much chance to survive. Consequently Damar could beat his enemy and Menak Jinggo was beheaded.
 
Damar Wulan immediately left Blambangan palace that night while promising Waito and Puyengan to be back after he received the rewa.

RoroJonggrang

Inside the northern chamber Shiva temple in Prambanan temple in Central Java, Indonesia, there is a stone statue of a beautiful woman.  She stands on a bull.  She wears a crown and jewelry.  Her body is slim.  Who is she?  There is no doubt that she is Durga Mahisasuramardini, a Hindu goddess.  But the Javanese people have their own story about her. Here is the story.

A long long time ago in central Java lived a wise king.  His name was Prabu Boko.  He had a beautiful daughter whose name was Roro Jonggrang.  They lived in a palace on top of a hill.  At present we can visit the ruins of the palace that is located about two miles south of Prambanan temple.  The palace is called kraton Boko. His country was so prosperous that another king was jealous. 

There was a neighboring kingdom under king Bandung Bondowoso.  One day king Bandung attacked Prabu Boko.  In a fierce fight King Boko was killed and his kingdom was conquered.  The young Bandung Bondowoso fell in love with Roro Jonggrang when he saw her beauty.  He wanted to marry her so he proposed her.  But Roro Jonggrang definitely did not want to marry someone who had murdered her father.  So she gave a difficult condition.

She told Bandung that she would marry him if he could build one thousand temples in one night.  Bandung was surprised but he was optimistic he could meet the condition.  He was a powerful king and he had many friends among the genie and spirits.  So he asked them for help.  With the help of those invisible beings Bandung built the temples.

Meanwhile Roro Jonggrang and her people kept an eye on Bandung.  When it was almost dawn Bandung and the genie had built nine hundred ninety nine temples.  Roro Jonggrang was very worried.   If Bandung could meet her condition, she had to marry him.  Then she had a bright idea.  She ordered her people to make noise and lights.  Women were ordered to cook and make noise by hitting kitchen utensils.  Men were also ordered to make noise around the temples.  Then the genie thought that daylight had come.  They were afraid of the sunlight so they left immediately.  Without their help Bandung was unable to finish the temple.

Bandung was very angry.  He knew that it was a dirty trick from Roro Jonggrang.  Then he cursed Roro Jonggrang into a statue.  The statue of Roro Jonggrang is now inside the northern chamber of the main temple which was dedicated to Shiva in Prambanan temple.

Gajah Mada dan Pencuri Misterius

The kingdom of Majapahit was at its peak in the 13th century.  The wise king who ruled was King Hayam Wuruk.  He was young, intelligent, and brave.  He had a smart prime minister, his name was Gajah Mada.  Besides that, he had smart and young aides and ministers.  Under Hayam Wuruk Majapahit ruled over most of the present day Indonesia.  Majapahit was very prosperous. 

The palace of Majapahit was very big.  It was very luxurious.  Inside of the palace there is a special building called ‘Gedong Pusaka’.  It was a house or more precisely a luxurious warehouse to store all the treasure of the kingdom.  There were jewelries, gold crown, earrings, gold coins, gold Kris and many other luxurious things.  That’s why the building was heavily guarded.  There was a high wall surrounding it.  Inside and outside the wall soldiers were on duty twenty four hours a day.  All of them were fully armed.  It was almost impossible for anyone at that time to get into the Gedong Pusaka.

One night the situation in the palace was very different.  There was a thick, very thick fog surrounding the whole palace, even the capital.  The temperature which usually warm was cool.  This situation was very rare in Majapahit.  The Javanese people (the people of Majapahit) interpreted this strange phenomenon as a signal from god.  They were sure that a great event would take place.


King Hayam Wuruk immediately called Gajah Mada.  After a shirt discussion they decided to call the army generals.  The king told the generals to put the army in the highest alert.  Soon they ordered all of their boys in highest alert.  The number of soldier who guarded the palace was doubled.  The king and the prime minister stay awoke until midnight.  Every hour they received report that everything was OK.  The night was very quiet.  So at midnight the king and Gajah Mada were asleep.


But when it was almost dawn something happened.  A group of soldier who guarded the front gate of Gedong Pusaka reported to the army general that the door of Gedong Pusaka was opened.  When they checked inside they found that the collection of gold coins was missing.  The army chief immediately reported the event to Prime Minister Gajah Mada.   


Gajah Mada immediately ordered that the commander of the guard was arrested.  Without waiting for the sun to arise he questioned the commander.  Gajah Mada thought that the commander was the one responsible for the lost of the cold coins.  But the commander refused.  He was sure that someone else did the wrong doing.  When the king woke up Gajah Mada reported to him.  But the king was silent.


The following night the situation was very different.  The sky was clear and the temperature was warm.  Although tension had diminished Gajah Mada ordered the army to stay in highest alert.  That time the king was ignorant.  The night was very serene.  Suddenly at midnight the soldiers who guarded at the front gate of Gedong Pusaka was shocked when they saw someone ran very fast from it.  Soon they chased him. But he ran very fast and soon the soldiers lost him.  However they could see that he ran toward the king’s compound. 


Their commander soon reported to Gajah Mada who immediately came.  He ordered the soldiers to siege the king’s compound.  He also ordered more soldiers to surround it.  Amazingly the king’s compound was covered with cloud.  Nobody saw where it came from but suddenly thick cloud surrounded it.  The fog was so thick that nobody could see the king’s compound.  The cloud even grew larger that finally the whole palace was covered by cloud.


The next morning the people of Majapahit was shocked to see the strange phenomenon.  The sky was clear and the sun was shining bright but the palace was covered by cloud.  No one could see it.  The king never came out of the palace.


Soon rumors spread that the thief was hiding inside the king’s compound in the palace.  The army kept surrounding it.  They cried to tell the thief to surrender.  Suddenly someone threw stones to the soldiers.  Some of them were hurt.  Then Gajah Mada got in to see the king.  When he came from inside the palace he told soldiers that the king was all right and that the   thief was not there.  After that rumor spread that the thief was ghost, not human being.  Months later the mystery thief had not arrested and the palace was still cloudy.  Years later the thief remained a mystery and he palace remained cloudy.  Majapahit suffered from a great loss.  It was a serious blow to the economy.  Several years later the kingdom of Majapahit collapsed.


Today territory of Majapahit becomes Indonesia.   People miss the glory of Majapahit.  They are dreaming that the glorious Majapahit will return someday.